BOGOR – Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor saat ini sedang melaksanakan pembangunan jembatan Otto Iskandardinata (Otista) di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Pembangunan itupun menuai sejumlah dampak dan terjadi polemik terkait Jembatan Otista yang diduga masuk kedalam Cagar Budaya. Pembongkaran jembatan Otista dinilai melanggar sejumlah peraturan, diantaranya Undang-Undang Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010 dan Perda dan Perwali nomor 17 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka.
Sorotan tajam diutarakan Pemerhati Kota Pusaka dan Kecagarbudayaan, Dayan D.L. Allo. Ia mengatakan, berdasarkan Perda nomor 17 tahun 2019 yang merupakan salinan dari Undang Undang Cagar Budaya, pembongkaran Jembatan Otista merupakan tindakan melawan hukum yang bisa dipidana sesuai undang undang berlaku. Sebab, pada struktur Jembatan Otista, ada bangunan Cagar Budaya yang sudah tertuang di dalam Peraturan Walikota Bogor nomor 17 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka bahwa Jembatan Otista masuk kedalam struktur Cagar Budaya.
“Jadi kalau melanggar Undang Undang Cagar Budaya, otomatis pelanggaran dan bisa dihukum pidana sesuai aturan berlaku,” tegasnya saat dikonfirmasi wartawan pada Selasa 9 Mei 2023.
Lanjut Dayan, Bangunan Cagar Budaya itu harus dilestarikan dan ada prosedurnya untuk kegiatan pembongkaran Cagar Budaya. Terkait Perwali 17 tahun 2015 itu memang bukan peraturan yang menghukum, tetapi itu amanat Walikota yang ditandatangani juga oleh Bima Arya di tahun 2015. Dalam Perwali itu mengamanatkan kepada diri sendiri untuk melestarikan seluruh Cagar Budaya yang ada di Kota Bogor, dan dalam hal ini jembatan Otista masuk kedalam Cagar Budaya yang harus dilestarikan. Ada 4 jembatan yang masuk dalam Perda itu, diantaranya, Jembatan MA Salmun, Jembatan Merah, Jembatan Otto Iskandardinata dan Jembatan Sempur.
Dayan menjelaskan, pada struktur bangunan Cagar Budaya Jembatan Otista, ada yang dibangun pada tahun 1930 yang merupakan Cagar Budaya dan ada stuktur yang dibangun pada tahun 1970. Saat itu pembangunan di tahun 1970 merupakan pelebaran jalan dari Jembatan Otista pada stuktur yang dibangun tahun 1930. Tentunya komponen bangunan Cagar Budaya pada Jembatan Otista itu harus dilestarikan, tetapi bangunan yang dibangun sejak tahun 1970 boleh dilakukan rehabilitasi ataupun direkontruksi. Dilebarkan atau ditambahkan, namun bangunan Cagar Budaya tidak boleh dihancurkan dan tetap harus dilestarikan.
“Pada bangunan Cagar Budaya dari tahun 1930 tidak boleh dibongkar atau dihancurkan tanpa adanya kajian secara menyeluruh dan melibatkan berbagai pihak. Jadi ketika akan ada pembangunan pada Jembatan Otista, harus jelas dulu yang mana yang akan dibangun. Jadi untuk bangunan yang bukan Cagar Budaya diperbolehkan dibangun atau direkontruksi, tetapi bangunan cagar budaya tidak boleh dibongkar. Kecuali ada kajian-kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak,” tandasnya.
“Untuk komponen bangunan Cagar Budaya yang dibangun tahun 1930, apabila saat ini dilakukan pembongkaran jembatan Otista secara total, maka itu masuk kedalam pelanggaran Undang Undang Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010. Jadi jelas bangunan Cagar Budaya itu harus dilestarikan dan tidak boleh dilakukan pembongkaran,” tegasnya.
Menurut Dayan, Walikota Bima Arya belum melaksanakan Undang-undang Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010 dan Perwali nomor 17 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka. Siapa pun yang merusak apalagi membongkar Jembatan Otista yang dibangun pada tahun 1930 tanpa prosedur pelestarian Cagar Budaya adalah pelanggar Undang-undang dan Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2022.
Dayan merujuk pada kasus pengrusakan bangunan Cagar Budaya pagar tembok Ndalem Singopuran di Komplek eks-Keraton Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Pelakunya ditindak secara pidana dengan aturan yang jelas secara hukum dan pelanggarannya. Merujuk pada kasus itu, pembongkaran Jembatan Otista juga merupakan tindakan yang sama melanggar peraturan Undang-undang dengan sanksi hukum pidana.
“Karena memang proyeknya sudah jelas menyasar bangunan Cagar Budaya pada Jembatan Otista. Tinggal dibuktikan tindak pidana nya yang dilakukan oleh Walikota Bogor Bima Arya tentang pelanggaran terhadap Undang-undang Cagar Budaya tersebut,” jelasnya.
Sementara, Kepala Disparbud Kota Bogor, Iceu Pujiati ketika di konfirmasi wartawan pada Selasa 9 Mei 2023 siang, mengungkapkan bahwa Jembatan Otista masih diduga sebagai obyek Cagar Budaya. Walaupun dalam Perda dan Perwali nomor 17 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka, Jembatan Otista belum ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya. Bahkan, belum ada penetapan secara SK atau Peraturan Walikota (Perwali) untuk cagar budaya pada Jembatan Otista tersebut.
“Jembatan Otista masih diduga sebagai obyek cagar budaya, karena belum ada kajian dari Tim Ahli Cagar Budaya serta belum ditetapkan oleh SK Wali Kota sebagai Cagar Budaya. Jadi belum ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya, sama dengan jembatan lainnya seperti Jembatan Merah, Jembatan Sempur, Jembatan MA Salmun,” terangnya.
Iceu menambahkan, “bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dikatakan Pemerintah kabupaten/kota bekerja sama dengan setiap orang dalam melakukan pendaftaran, dan pada ketentuan
Pasal 31 ayat (2) dikatakan Pengkajian terhadap hasil pendaftaran yang dimaksud pada ayat (1) bertujuan melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya”, tambahnya.
Redaksi juga mendapatkan surat tertulis tanggapan somasi kepada Walikota Bogor Bima Arya dari Kantor Hukum Santi Dewi Harjowasito dengan nomor surat 1 Nomor : 192/SDH/Save-JembatanOtista/V/2023, bersifat : DARURAT CAGAR Budaya, perihal permohonan Pelanggaran Undang Undang nomor 11 tahun 2019 tentang Cagar Budaya, yang ditunjukan kepada Walikota Bogor Bima Arya pada tanggal 03 Mei 2023. Dalam inti isi surat dengan permohonan atau tuntutan bahwa:
Permohonan/Tuntutan kepada Wali Kota Bogor sebagai berikut : A. Wali Kota Bogor untuk menjalankan Undang-Undang Nomor : 11/tahun 2010 tentang Cagar Budaya. B. Wali Kota Bogor untuk menjalankan Undang-Undang Nomor : 30/tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang Baik (asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas keterbukaan, asas kepentinan umum dan asas pelayanan yang baik)
C. SEGERA Menghentikan Perobohan Cagar Budaya Jembatan Otista 1930. D. STOP Pekerjaan Penghancuran Cagar Budaya Jembatan Otista/Treubweg1930 (lengkung) untuk diganti Jembatan Balok Biasa, E. Mendesak Wali Kota Bogor Melengkapi Kajian Analisa sebagai bentuktanggungjawab dalam melaksanakan Asas-Asas Undang-UndangPemerintahan Negara yang baik.
F. Melibatkan Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Jawa Barat, Ahli Struktur Jembatan,Ahli Kontruksi Jembatan, Konsil Kota Pusaka, Ahli Sejarah, Ahli Dampak Ekonomi dan Sosial, Ahli Traffic dan Transportasi. G. Wali Kota Bogor SEGERA Memenuhi kelengkapan Kajian-kajian/analisa tersebut diatas sebagai acuan dasar Revitalisasi Cagar Budaya Jembatan Otista1930. H. Mendesak Wali Kota Bogor untuk Menjalankan Konsep Awal Revitalisasi Jembatan Otista 1930 dengan Pelebaran Jembatan Otista bukan PerobohanStruktur Jembatan Otista 1930 (Kajian Pemkot Bogor Pelebaran).
I. Menginformasikan secara terbuka Kerjasama Pemerintahan Kota Bogor dengan PT. Mina Fajar Abadi, mengingat Pemenang tender pernah masuk daftar hitam. J. Selanjutnya Wali Kota Bogor menyampaikan secara terbuka/transparansi terkait Anggaran Perobohan Jembatan Otista dan Data alat bukti Pengeluaran Perobohan Cagar Budaya Jembatan Otista 1930 kepada Publik dan mendesak Wali Kota Bogor menjalankan Undang-Undang Nomor : 14/tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik.
Dan atau : Apabila Wali Kota Bogor tetap pada pendiriannya Melakukan PEROBOHAN Cagar Budaya Jembatan Otista 1930, kami akan memohon Keadilan baik secara Pidana maupun Perdata sebagai bentuk tanggungjawab Warga Negara Indonesia dalam upaya Melindungi Cagar Budaya Jembatan Otista 1930 sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. (be-008)
Discussion about this post