BOGOR – Warga Kota Bogor dibuat bingung dengan sikap Walikota Bogor Bima Arya yang tidak konsisten dalam program revitalisasi Jembatan Otista. Jajaran DPRD Kota Bogorpun langsung bereaksi terkait pembatalan pembongkaran struktur jembatan buatan Belanda itu.
Rupanya, kebijakan Walikota Bogor, Bima Arya teranyar dengan membatalkan pembongkaran struktur pondasi Jembatan Otista seolah menjadi pintu masuk, segudang persoalan lainnya yang bakal menerjang Pemkot Bogor.
Anggota Fraksi PPP DPRD Kota Bogor, Akhmad Saeful Bahri bahkan menyebut, sang kepala daerah inkonsisten dan telah gagal dalam merencanakan pembangunan proyek dengan senilai Rp 49 miliar itu.
Ia juga mengingatkan Walikota Bogor Bima Arya, yang sejak awal kekeuh membongkar total Jembatan Otista namun kini melempem dan berujung pembatalan. “Pemkot Bogor mempublish di berbagai media bahwa Jembatan Otista akan dibongkar total. Jadi gimana dong, berarti salah perencanaan dari awal atau gimana,” tandas Gus M sapaan akrab Akhmad Saeful Bahri.
Musababnya, jelas Gus M, jika benar Bima Arya membatalkan pembongkaran struktur Jembatan Otista, berarti menjadi pembenaran bagi publik yang belakangan ini mempersoalkannya berkaitan dengan status cagar budaya.
Menurut Gus M, kebijakan atas desakan publik itu sekaligus membenarkan tudingan, jika selama ini Pemerintah Kota Bogor dalam hal ini OPD terkait, tidak melakukan kajian budaya dan hanya melaksanakan kajian teknis pada proyek revitalisasi Jembatan Otista.
“Kalau benar sampai seperti itu, pastinya harus CCO (Contract Change Order,red). Yaitu revisi atau perubahan perencanaan awal pada proyek konstruksi yang dikondisikan dengan keadaan di lapangan dong,” ujar Gus M kepada bogorexpose, Minggu (21/05/2023).
Secara otomatis, lanjutnya, akan berpegaruh pada hitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) konstruksi dan waktu pelaksanaan. Maklum saja, anggaran yang digelontorkan Pemprov Jabar untuk Jembatan Otista tersebut, mencapai Rp 49 miliar.
“Berapa persen perubahan maksimal yang bisa ditoleransi CCO sesuai dengan aturan. Kalau melebihi ambang batas, bisa diartikan gagal perencanaan,” tandas politisi partai berlambang Ka’bah itu.
Gus M juga mengingatkan Bima Arya dan jajaran Pemerintah Kota Bogor, terkait dokumen dan konsekuensi hukum nantinya. “Dalam Perpres 54/2010 Pasal 87 bahwa CCO tidak dapat dilakukan sebelum permohonan CCO dari rekanan. Disetujui oleh pihak terkait termasuk PPTK, PPK dan konsultan perencana,” ungkap Gus M.
Seharusnya, jelas Gus M, kajian terkait Jembatan Otista, harus dilakukan komperhensif dengan melihatnya dari hulu ke hilir. Selain itu, ia juga mempertanyakan kajian/FS yang dilakukan PUPR apakah melibatkan Dinas Pariwisata terkait FS aspek budaya/cagar budaya.
“Kalau mau dibangun seharusnya sesuai ketentuan UU & Perda Cagar Budaya. Apalagi ketika obyek merupakan cagar budaya atau diduga sebagai struktur cagar budaya sebagaimana Perwali 17 tahun 2015 tentang Kota Pusaka,” jelasnya.
Kalau pun mendesak harus dibangun, kata Gus M, maka tetap harus berdasarkan kajian. “Misalkan tidak boleh mengubah bentuk, kan bisa designnya dibuat persis, sebagai replikasi. kalau ini kan kita harus lihat dulu apakah merubah bentuk atau tidak dari sisi kajian Budaya,” papar Gus M.
Ia juga menegaskan, status kota pusaka yang disematkan Kota Bogor, menjadi amanat dari regulasinya. “Kan salah satunya permenPUPR, maka pertimbangan perwalnya itu tentang wilayah permukiman, termasuk RT-RW dalam hal ini Bappeda dan PUPR,” kata mantan jurnalis senior itu.
Sesuai Peraturan Walikota Bogor (Perwali) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka, tepatnya pada Lampiran II tertulis bahwa Jembatan Otista meliputi bagian dari Pusaka Budaya Ragawi dalam konteks struktur Cagar Budaya.
Hal itu berbanding terbalik dengan yang ada di Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Nomor PM.26/PW.007/MKP/2007. Ada 22 situs dan bangunan peninggalan sejarah dan purbakala di wilayah Kota Bogor yang resmi ditetapkan sebagai cagar budaya.
Di antaranya, bangunan Balai Kota Bogor, Gedung Karesidenan Bogor, Markas Kodim 0606 Bogor, Markas Korem 061/Surya Kencana, Gedung Blenong/Badan Pertanahan Nasional Bogor, Gedung RRI Regional II Bogor, dan Balai Penelitian Bio Teknologi Perkebunan Indonesia.
Kemudian, Kantor Pos Bogor, Lembaga Pemasyarakatan Bogor, Museum Zoologi, Monumen dan Museum Peta, Makam Raden Saleh, Gereja Katedral, Gereja Zeboath, Kapel Regina Pacis, Gedung SMA YZA2, Gedung SMP Negeri 2 Bogor, Gedung SMA-SMP Negeri 1 Bogor, Stasiun Kereta Api Bogor, Rumah Sakit Salak, Rumah Panti Asuhan Bina Harapan dan Hotel Salak.
Pemkot Bogor Akui Ada Kecerobohan
Kepala Bagian Hukum dan HAM Setda Kota Bogor, Alma Wiranta tak menampik adanya kecerobohan atas penerbitan produk hukum yang di tanda tangani Bima Arya tersebut.
Dia mengaku, pada Perwali Nomor 17 Tahun 2015 itu salah mencantumkan Jembatan Otista sebagai struktur cagar budaya. Sebab, jika dinilai dari aspek kesejarahan Jembatan Otista itu mungkin bisa dikatakan masuk di dalam benda bersejarah atau bangunan bersejarah.
“Tapi kalau untuk cagar budaya sampai dengan terakhir ini, dari saya menyampaikan belum masuk cagar budaya. Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut cukup sampai dengan Hotel Salak yang ditetapkan sebagai cagar budaya, sementara jembatan-jembatan tidak ada,” ungkap Alma, seperti dilansir dari jabarekspres.com, Minggu (21/05/2023).
Tak hanya itu, dalam lampiran yang sama, kelalaian juga tergambar jelas pada penulisan sumber rujukan sebagai payung hukum yang dimaksudkan. Yakni, ‘Bangunan Cagar Budaya berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan PM.26/PW.007/MKP/2007 tanggal 26 Maret 2007’.
“Kalau merujuk ke dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2007, nomenklatur yang disebutkan di dalam lampiran kedua itu salah. Bukan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, tapi yang betul adalah Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Jadi sifatnya masih berupa regeling bukan beschikking,” bebernya.
“Yang kedua, seiring dengan adanya Perda Cagar Budaya Kota Bogor Nomor 17 Tahun 2019, itu juga tidak ada turunan dari perda tersebut, terkait dengan peraturan maupun surat keputusan wali kota yang menyatakan bahwa jembatan otista adalah cagar budaya,” lanjut Alma.
Artinya, secara hukum formal keberadaan jembatan yang sudah berusia 103 tahun itu belum resmi ditetapkan sebagai objek cagar budaya. Sebab untuk menentukan suatu objek sebagai cagar budaya harus melalui proses yang panjang, mulai dari administrasi, sampai verifikasi dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).
“Pada waktu itu, mungkin tidak dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap peraturan yang ada di atasnya, terhadap Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2007. Terus yang kedua, karena tidak ada TACB yang dibentuk oleh pemerintah daerah, jadi akhirnya semerawut,” dalihnya.
“Kami dari bagian Hukum dan HAM menyatakan tidak ada aturan yang menjadi payung hukum untuk menetapkan Jembatan Otista sebagai cagar budaya di Kota Bogor,” imbuhnya.
Ini Respon Bima Arya
Wali Kota Bogor Bima Arya menegaskan, bahwa Jembatan Otista itu tidak termasuk sebagai kategori objek yang sudah ditetapkan karena tidak ada proses tahapan untuk pengajuan bersama TACB.
“Kalau soal status itu kan semua ada tahapannya. Tapi memang sedari awal, target kami selain bisa dilebarkan, dikuatkan, juga harus ada tetap penghormatan atau ikhtiar menjaga warisan masa lalu,” katanya.
Dirinya berjanji akan berupaya mempertahankan bagian-bagian yang sudah menjadi ciri khas jembatan Otista, seperti adanya bentuk lengkungan pada bagian bawah badan jembatan. “Jadi gak ada masalah sama sekali, pembangunan terus berjalan, kita harus sesuai dengan target, malah kalau bisa saya usahakan lebih cepat dari target bulan Desember,” tukasnya.
Adanya polemik terkait status cagar budaya pada jembatan yang dibangun sejak 1920 itu tak berdampak besar dan proses revitalisasi tetap berlanjut hingga sudah memasuki tahap pengangkatan aspal, pembongkaran bagian kiri jembatan dan plat jembatan serta penggalian tanah di sejumlah titik. (be-007)
Discussion about this post